Sky, Why Are You Sad?

Assalamualaikum

*masuk sambil bales sms temen*



“Ki. Keadaan gimana sekarang? Udah enakan? Kalau butuh temen lagi panggil gue aja, kebetulan gue kosong nih hehe”

Kurang lebih itu yang tampak pada layar hp gue yang habis gue ketik. Tentunya ditujukan oleh tetangga gue yang sekarang udah pindah jauh ke alam lain –maapin kakah Kira.



Kemarin anak curut ini, gue temenin ngegalau. Di saat gue lagi  ngelatih insting goku gue, matengin jurus super saiya dengan konsentrasi lebih tinggi, dia nelfon gue dengan nada ga nyante nyolotnya nyuru gue ke rumahnya. Karena dia bareng gue udah kayak sodaraan, gue okein



Ketahuilah saat itu hujan deras disertai kilat dan petir yang menghujam terus-menerus permukaan bumi di Makassar! *padahal cuma gerimis dan di pinggir jalan banyak yang ngepaparazi kena blitz kamera haha*



Gue sampe di rumahnya pake acara basah-basahan sambil salemin bokapnya –for your information, nyokapnya udah meninggal, ini yang buat gue care sama dia. Nyokap gue kenal dekat sama keluarganya. Jadi kalau ada masalah bareng dia, Cuma gue yang dipanggil buat nenengin dia. 

Setelah mandi dikit dan dibikinin susu anget sama bokapnya , gue deklarasiin kalau gue siap dengerin ceritanya sambil duduk di sofa depen jendela yang ngeviewin jalan raya live




Hujan yang berkolaborasi dengan alunan musik klasik dari radio kamarnya, buat suasana galo mengental. Sayangnya gue lagi ga mood buat galo. Cerita demi cerita dia lontarin dan yang gue tangkep Cuma, “Harusnya yang ada di depennya sekarang itu bukan gue, tapi gebetannya dia. Gebetannya dia emang selalu siap kapan aja dengerin dia curhat, entah soal pacarnya atau soal keluarganya. Tapi sekarang gebetannya udah banting stir”



Gue baru sadar sekarang, nih anak udah punya pacar eh masih ngeharap sama gebetan. Satu-satu kali kii! Jangan diborong, buat gue manahhh? *cakar-cakar mukanya Kira*




Dia galaunya ga main-main, habisin tissue 3 pack, itu tuh sakitnya di dompet gue. Yang galo siapa, yang beli tissue siapakkk?

Stress sendiri
 

Berkaca dari dia, entah kenapa jiwa puitis gue keluar.

Sampe rumah –yey akhirnya punya rumah juga, gue Cuma baringan bentar, coba meresapi perasaan dia. En den.. Gue bangun bawa sejumlah kertas dan pensil sama pasangannya, si pengapus –ciee couple. gue otw ke roof top. 



Di roof top masih kayak kemarin, langit masih dihiasi  awan kelabu cantik. Gue duduk, gue berpikir, coba mendengarkan kata hati sendiri dan coba tulis apa aja yang terlintas di otak gue.

Setelah beribu-ribu detik gue laluin sambil menghapus, merobek dan membuang kertas-kertas yang isinya kurang pas, ini lah hasilnya (dengan berbagai pemikiran hebat sampe-sampe menimbulkan konspirasi gue bareng nyamuk, gue jadi ubah sudut pandang puisinya jadi si Kira)

Enjoy!




                                                Sesederhana Hujan

Senang rasanya, dapat kembali ke secarik kertas ini

Kertas   yang geli kusebut diary   yang menjadi cawan kemudian kutuangi cerita

Cerita curahan hati alam bawah sadar



Ting. Ting. Ting

Putaran sendok searah jarum jam mengitari diameter cangkir susu hangatku

Sengaja kubuat untuk menyambut hujan di luar sana




Ah, hujan ..

Aku selalu berterima kasih pada hujan, mereka telah memberiku kesempatan

Kesempatan untuk melamun, tentunya..




Tetesan hujan dari luar yang nampak memaksa masuk namun terhalang kaca

Tetesannya bersatu menjadi sebuah aliran air yang menuruni jendela

Seolah tak lagi ada harapan untuk bisa masuk

Hingga akhirnya, gravitasi membuatnya rela luruh ke tanah

Sayangnya, Mereka  tetesan hujan- terlalu kilat putus asa

Sama halnya denganku, buruk.



Air hujan yang lainnya bahkan jatuh menghantam jalanan membentuk seperti jarum

Begitu terasa menusuk dan sakit walau sedikit

Membuatku terhenyak walaupun sejenak



Seperti biasa, aku melamun di sofa menatap jendela kusang

Menyaksikan air turun deras, membasahi jalan yang mulai sepi

Bagai melihat film yang berjudul namamu

Semua hanya wajahmu yang terproyeksikan

Lalu, terlintas di benakku peristiwa seminggu kemarin.. 



Saat itu aku datang menghampirimu dengan langkah kaki menggebu

Seolah deretan kata dalam tenggorokanku berdesak, ingin keluar

Hari itu tidak hujan, terbukti setelah aku menengadahkan tanganku di bawah langit biru

Kamu tiup kursi penuh debu, memastikan cukup bersih untuk aku bebani



Kamu seketika mengubah diri menjadi telinga

Semua gundah, kulontarkan dalam bentuk frasa.

Tentang seseorang di luar sana, yang mencoba menyakitiku

Kamu menatapku lekat-lekat, mencoba mengidentifikasi  petir dan guntur di mataku

Hingga akhirnya, hujan pun turun



Kamu menengadahkan tangan ke bawah langit, persis yang kulakukan tadi

Kamu memasang mimik yang membingungkanku

Lalu kamu menengadahkan tangan ke bawah pipiku

hujan air mata deras berjatuhan

Ejekan mu selalu begitu lembut



Lalu, kamu menyentuh pipi yang basah itu, seolah berkata :

“hanya untuk memastikan, aku cukup basah untuk kehujanan di sana bersamamu”

Kamu lalu berdiri dan mengulurkan tangan, kamu dapat apa yang kamu inginkan



Genggamanmu memang tak sehangat sweater rajutan nenek,

Namun, sepertinya kamu telah berusaha menyalakan tungku api di hatiku, dengan mengatakan :

“Tenang. Ada aku. Semuanya akan baik-baik saja” lalu tersenyum simpul



Setelah badai air mata, titik air yang disinari sorot mata benderangmu

Membuat selengkung pelangi itu pun akhirnya kembali muncul

Lamunanku pecah saat hujan akhirnya reda, menyadarkan bahwa itu adalah kenangan indah



Yang tersisa hanyalah hujan baru.

Di mataku, karena rindu yang tak kunjung terbalaskan

Baik. Aku biarkan kamu pergi bersama hujan ini dengan membawa hatiku

Tapi beri tahu aku, siapa sebenarnya yang membawa hatimu, hingga kamu tak memilikinya sama sekali untukku?



Satu hal yang paling aku sesalkan :

Bagaimana mungkin hadir lagi sebuah pelangi di senyum yang basah ini?

Sedangkan kamu, sang mentari, pergi dibayangi awan kelabu penutup mimpi

Kembalilah, buat senyumku berwarna lagi

Atau cukup ketuk saja kelopak mataku jika kamu sudah temukan lagi kuas pelangi kasih itu.



NB : Tak ada yang lebih membelenggu dari ungkapan rindu yang tak tepat waktu



-ditulis di sebuah sore yang basah dan nyaris banjir, memecahkan bendungan rindu-



Lumayan panjang. Panjang banget maksudnya..
Inspirasi dari beberapa racikan Oka yang gue satuin. #HAHAINGUWEHDONG

Jadi yang punya masalah seperti Kira si curut yang ga ganti duit gue buat beli tissue tadi ini, gue cuma bisa geleng kepala lalu tegasin :

“Terus aja yang ramah dikit dianggap suka. Emang hobi banget nyiksa diri sendiri”

Hubungannya jadi ga jelas sama doi. Temen ga, sahabat ga, gebetan udah ga mungkin, pacaran apalagi, ttman? Apa dia mau?





Man. Jangan ditambahin masalahnya Indonesia lah, udah cukup demokrasinya yang bobrok, jangan bobrok juga asmara masyarakatnya. Jodoh mah ga kemana, Tuhan udah sediain juga haha timingnya aja ga pas. DAN Udah cukup partai P*P dan G*lkar yang ga jelas, ga dengan status kalian. Masih terhormat Jomblo kalau gitu mah *Cengir dengan sudut bibir melewati telinga asimetris*



Tiba-tiba hp getar, oh si Kira..

“Halo taa? Lo mau miras oplosan?” Zzzzzzz!

“Eh Ki, miras oplosan? Yang memabukkan dan mematikan yah? Kayak cinta palsu aja. Haha”

“Tutt, tutt, tutt .. ” *Kira tiba-tiba tarik tissue*

BAYAR TISSUE YANG TADI DULU AJAH BELOM, UDAH MAU AMBIL TISSUE PACK BARUKK?!



Udah ah, jadi gaje gini

Mending main-main ke masa lalu ah..



Assalamualaikum *kasi senyum yang diusahain banget cantik, manis dan cerianya*


Eh, ga jadi.. serem!

*lari balik ke dunia nyata*

0 bacotan:

Posting Komentar

Mau gawl++?

Komen keless
*ngemis dikomenin*